Search This Blog

Jumat, 07 Januari 2011

PILIHAN PILIHAN PEREMPUAN



Di alam kematian, menanti panggilan penghitungan — timbangan pahala dan dosa, Poppy tampil mengenakan ihram. Putih bersih, sebatas menutup aurat pembalut badan. Bukan tanda kesucian, hanya wujud kesahajaan arwah-arwah yang telah menjadi atman. Menunjukkan, tiada benda yang dapat dibawa, apapun bentuknya. Kesuciaan arwah hanya ditandai dari pancaran aura sukma, yang hanya dapat dikenali oleh  Malaikat-malaikat ahli sorga. Satu-satunya perlengkapan yang menyertai adalah tasbih, perangkat pemberian penjaga padang Mahsyar, yang harus digenggam agar tidak tersesat dan masuk ke kubangan Setan.

Tasbih, untaian transparan bulatan beling yang bening,  seketika memancarkan warna saat berada di tangan penerima. Sepertinya sebagai tengara profesi yang dijalani, selama menapak kehidupan di alam fana. Terlihat, para ustadz, kyai dan da’i menggenggam tasbih putih cemerlang.  Sedang pencuri, pencopet atau perampok, tasbih yang dipegang seketika berubah wana menjadi hitam kelam.

Poppy sempat menggigil tercekam ketakutan, saat jati dirinya tak lagi dapat disembunyikan. Dipandangi tasbihnya, yang seketika menjadi berwarna merah jambu. Kemudian kepada Malaikat penjaga dia memberanikan diri bertanya ;
”Apakah ini berarti aku akan masuk neraka ?”  Malaikatpun menjawab,
”Urusan itu, sepenuhnya kewenangan Tuhan. Tiada yang berhak mencampuri, ikut menentukan apalagi menghakimi. Baik para Malaikat atau seorang Nabi sekalipun. Hanya Setan yang suka sesumbar, seakan merasa berhak menentukan ambang batas perkara dosa. Sementara, Tuhan dalam firmanNya, hanya menyampaikan  perumpamaan dan tanda-tanda”. ”Lalu apa tugas kalian ?  Menegakkan syari’at ?!” Poppy bertanya lagi.
”Syari’at tidak perlu dipaksa untuk ditegakkan, melainkan harus muncul dari kesadaran.  Syariat yang dipaksakan tidak membuahkan ma’rifat. Mubazir, … sia-sia. Dan disini, syari’at sudah tidak lagi diperlukan”
”Lalu apa yang akan kalian lakukan ?” ”Memberi hukuman kepada mereka yang lepas dari ’karma  dunia.’”


Seketika Poppy menangis, membayangkan hukum rajam berupa cambukan cemeti beribu kali, yang sebentar lagi akan dihadapi. Melihat perawakan Malaikat yang tinggi, besar dan kekar, pasti cambuk yang dihunjam akan menimbulkan rasa sakit yang tak terkira. Tetapi, terlambat bila saat ini dia menyesali, dan bukankah selama menjalani profesi yang terpaksa digeluti, dia telah menyadari, hukuman itu adalah sebagai konsekwensi. Dulu dia berharap, dosa-dosanya akan terhapus oleh amal dan kebajikan yang telah dia coba perbuat. Dan dengan demikian, dia merasa karma tidak lagi menghantui. Apalagi akhirnya dia sempat menunaikan ibadah haji dan menjalani kehidupan sebagai wanita sakinah, berlaku santun dan taat melayani suami sampai akhir hayatnya. Sayang dia tidak dikarunia anak. Bila dia memiliki buah hati, bersamanya pasti sekarang dapat berbagi rasa, dan penderitaannya akan diringankan, karena do’a-do’a anak yang saleh pasti didengar oleh  Tuhan Yang Maha Tau dan Maha Mengerti.

Yang bisa dilakukan sekarang adalah berbagi rasa dengan suami. Tetapi dia belum menemukan dimana suaminya berada. Mungkin sedang berusaha mencari isteri pertamanya. Bilamana itu yang sedang dilakukan, Poppypun rela, karena dialah yang mendampingi suaminya di masa-masa sulit menapak karir. Tabah menyertai dikala duka menimpa, dan dengan penuh kesabaran membimbing serta membesarkan kelima anaknya, hingga kemudian suaminya berhasil meraih kemuliaan. Sayang, kemudian dia bertahun-tahun jatuh sakit.  Dalam keadaan seperti itu, dengan kerelaan dan kelapangan dada, pernah menganjurkan agar suaminya mencari isteri lagi, setelah dia merasa sudah tak sanggup melayani, apalagi memberikan kepuasan sebagaimana kodratnya sebagai seorang perempuan. Namun  suaminya tidak sampai hati melukai perasaan isteri, dan lebih memilih mengunjungi ”sanggar kebugaran” tempat Poppy bekerja. Hingga akhirnya, penyakit yang sekian lama mendekam di badan, memenggal usianya. Tak lama kemudian, suaminya meminta Poppy sebagai pengganti … pendamping setia hingga ajal menjemput mereka.

Poppy sengaja menghindar agar tidak berjumpa adik-adiknya. Dia malu dan takut mereka akan sedih dan kecewa, saat mendapati uang yang dipergunakan untuk bertahan hidup dan membiayai keperluan pendidikan hingga ketiga adiknya menjadi sarjana, ternyata berasal dari pekerjaan yang sangat hina. Biarlah mereka bersuka cita menikmati keceriaan sebagai insan berilmu, pikirnya. Yang telah mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan masyarakat dan negara … yang pasti sorga balasannya. Tetapi betapa terkejut ketika ketiga adiknya dan anak-anak mereka, dari jauh memanggil-manggil, kemudian berlarian menghampiri. Saat mendekat lalu mereka bersimpuh, menangis sambil berharap ;
”Teteh, biarlah tasbih Teteh kami yang memegang bergantian. Kami lebih kuat menjalani hukuman dan kamilah yang lebih pantas menerimanya. Teteh telah banyak berkorban dan menderita karena kita semua.”
”Jangan! Aku lebih senang melihat  kalian bahagia. Tangisku karena siksa lebih menyenangkan dibanding kucuran airmata kesedihanku menyaksikan  kalian sengsara” Poppy membalas tawaran adik-adiknya. Tetapi Poppy akhirnya tak kuasa menolak, ketika adik-adiknya memaksa dan mengancam akan membuat keonaran dengan memberontak kepada Malaikat, untuk meminta pengertian dan keadilan. Namun percuma, ternyata ikhtiar adik-adiknya tidak membuahkan seperti yang diinginkan, karena tasbih adiknya ketika berada di tangan Poppy, akan memancar warna merah jambu seperti tasbih pertama saat  diterimanya. Adik-adiknya meratap sedih, tetapi sekaligus merasa bangga, memiliki kakak berhati emas dan  bertekad sekeras berlian.

Dalam suasana haru, tiba-tiba Poppy mendengar seorang wanita memanggil namanya  dan mengantar pelukan. Wanita itu menatap begitu lembut dan anggun, sambil berucap ; ”Sukarsih, kamu baik-baik saja kan ?!” Kemudian dia menoleh kearah seorang pria yang tadi menyertainya. Dari kejauhan pria itu menatap haru dengan mata berkaca-kaca. Ternyata dia adalah suaminya, dan wanita itu, … Poppy menjadi teringat, dia tampil dalam lukisan diatas kanvas indah dibingkai, yang dia biarkan tetap terpajang di ruang keluarga. Kalau begitu wanita yang baru saja memeluknya adalah Sang Isteri Pertama dari suaminya. Poppy kemudian menunduk dan berusaha mencium tangan wanita itu. Tetapi ditolaknya, seraya mengatakan ; ”Janganlah kamu merendah, Kita sederajat. Hanya waktu yang memisahkan, sehingga kita berperan di saat yang tidak bersamaan, dan sebutan kita menjadi berbeda.”

Kemudian mereka berjalan beriringan....

Ditengah jalan, Poppy berpapasan dengan seorang kawan. Poppy ingat betul dia dulu teramat cantik. Tetapi walaupun masih terpancar kecantikannya, terlihat dia memendam perasaan. Sehingga terlihat letih, wajahnya muram. Hanya kharismanya, sebagai perempuan yang berada di puncak perhatian, yang masih dicoba untuk dipertahankan. Waktu itu, niatnya untuk berpisah saat mendapati suaminya menikah lagi, diurungkan. Dia memilih pasrah menjalani hidup demi kepentingan anak-anaknya.Walau dia tahu, sikapnya sangat menyakitkan para pejuang pemberdaya kaum perempuan dan mengecewakan aktivis penegak hak azasi manusia. Kini, dia ingin melepaskan perasaan. Karenanya, dia berjalan cepat bersama anak-anaknya, meninggalkan suami yang sibuk mengurus Euis, isteri madunya. Mengenali Poppy, wanita itu lalu menghampiri dan meluapkan kepedihan. Cukup lama Poppy berusaha menenangkan. Walau akhirnya berhasil, tetapi tangisnya berakhir dengan sengguk-sengguk beriringan, yang tak henti mengguncang badan.
Dari kerumunan, muncul seorang pria, yang di kenal sebagai Da’i ternama. Ia datang menghampiri, seraya berucap memelas : ”Teteh kenapa menangis ? Akang dan Euis, dari tadi bingung mencari-cari. Ayo kita sama-sama menuju ke ”padang kedamaian” !” Padang itu adalah tempat perlakuan adil para suami berpoligami diuji. Namun mereka terkejut, ketika hendak melangkah bersama, ternyata Si Euis telah lari menghilang. Rupanya Euis tak tahan menerima cemooh dari kerumunan berjuta perempuan, yang menuduhnya mengganggu kebahagiaan rumah tangga seorang ulama. Poppy kemudian menghampiri Malaikat untuk meminta bantuan mencari. Oleh Malaikat Poppy diajak masuk ke sebuah tenda, yang dilengkapi layar lebar monitor tiga dimensi, tampilan pengindera menitik dimana arwah seseorang berada, ditengah lautan para pencari sorga. Tetapi Euis tetap tidak ditemukan, yang terlihat hanya sang Da’i yang kebingungan mencari kesana kemari.

Di layar itu ternyata dapat  terlihat jelas  aura-aura sukma memancar dari para atman. Saat menyaksikan, Poppy terheran. Mengapa aura Da’i suami kawannya itu, tidak memancar secemerlang Da’i-da’i yang lain. Lebih heran lagi, banyak petani serta nelayan dan para awam yang bersahaja, ternyata pancaran auranya tak kalah cemerlang dari para ulama. Dan Malaikatpun menjelaskan ; ”Ukuran kemuliaan seseorang dimata Tuhan, adalah kesungguhan menjalani kodratnya. Seberapa jauh ”kemampuan diri” dan ”panggilan jiwa” dalam mengemban profesi yang dipilih dan digeluti, telah sebaik-baiknya dilaksanakan. Kemampuan diri seorang Da’i dinilai dari ucapan dan dakwahnya. Sedang memenuhi panggilan jiwa, dia harus menunjukkan tanggung jawab moral lebih tinggi dari profesi-profesi yang tidak langsung terkait dengan peningkatan kualitas beragama. Ia harus sadar kiprahnya adalah cermin etika. Menjadi panutan, dia harus mampu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat  melukai perasaan, tidak hanya isteri dan anak tapi juga para jama’ahnya. Dulu, Da’i itu aura sukmanya paling cemerlang diantara Da’i kondang seangkatan. Tetapi kemudian redup, diredam kabut yang menyeruak dari syahwatnya. Ia lupa bahwa dia adalah manusia yang berprofesi sebagai Da’i, bukan utusan Tuhan sebagai Nabi.”

Saat Poppy tercengang, Malaikat mengalihkan arah penginderaan ke medan penyiksaan zinah-zinah manusia. Kemudian sambil menunjuk ke layar kaca ia berkata, ”Seperti itulah nanti kau akan menerima siksa”  Terlihat cambuk tebal, berulir menjulur panjang, terayun melingkar berputar-putar. Saat dihentak, menggeletar, memancarkan suara seperti petir menyambar. Dalam beberapa putaran setelah melesat kencang, cambuk itu menghunjam tubuh seseorang yang tengkurap pasrah, dan kemudian  menyisakan goresan merah, disambut kejat kepedihan dan lengking jeritan, yang diiringi rintihan patah-patah. Terbangun dari tidur siangnya, tubuh Poppy sekujur dingin berlumur peluh. Dalam keadaan setengah sadar, dia mendengar suara anak-anak kecil memanggil-manggil sambil tertawa-tawa,
 ”Teteh, … Teteh lihat, lucu ya A’a kawin lagi...!!!”.   

Sebuah kisah yang menginfirasi kita bahwasanya kita hidup didunia ini tak lah lama dan pasti mati, semua akan ditinggalkan. Suami, Istri, anak, kakak adik, orang tua dan kaum kerabat handai taulan tidak hanya bisa berbagi kasih dan sayang pada kita ketika didunia saja, tapi sampai dimasyar kelak. Setelah kita mati mereka akan senantiasa medoakan kita karena kebaikan-kebaikan yang kita tanam selama hidup didunia. Maka, apa yang kau tanam itulah yang akan kau tuai.

"TIADA YANG ABADI DAN KEKAL DIDUNIA YANG FANA INI..."
From : Rizaldi Ahmad,.-

0 komentar: