Search This Blog

Selasa, 11 Januari 2011

JEJAK KATA ALFATIH




CUKUPLAH ALLAH YANG MENJAGA CINTA ITU

Muhammad Fatih Hifzillah adalah nama mujahid yang pinangannya aku terima satu bulan yang lalu setelah rangkaian proses perkenalanku dengan ikhwan ini. Seorang bersahaja yang datang ke rumahku bersama sang bunda, ustadz, dan beberapa rekannya. Seorang  mandiri yang membiayai sekolah dan kuliahnya sendiri sejak ayahnya wafat, saat ia masih duduk di bangku SMP. Seorang yang juga pernah menyelesaikan program tahfizh pada lembaga bimbingan Al-Qur’an yang sama denganku. Seseorang yang aku yakin adalah jawaban dari doa-doa malamku, bisikan-bisikan dalam sujud panjangku, dan bagian dari solusi perjuangan dakwah.
Tidak ada hal yang menjadi masalah sejak biodatanya kuterima. Tidak juga ada ganjalan dari diskusi panjang pada sebuah sore di rumah ustadzahku. Saat itu, ada aku dan ustadzahku, dia dan Pak Umar ustadznya, serta suami dari ustadzahku. Kami berdua memang tidak menetapkan kriteria tinggi yang spesifik. Visi, fikrah, dan cita dakwah kami sehaluan. Suasana diskusi kami mengalir lancar. Hanya saja, satu pertanyaannya yang terakhir membuatku tersentak pada pertemuan itu.
“Seperti yang Anti bisa ketahui dari biodata Ana, hidup dalam kemuliaan di mata Allah atau syahid adalah pilihan Ana. Ini bukan sekadar jargon. Ini adalah jalan hidup yang selama ini Ana pilih. Banyak orang yang melihatnya sulit, namun begitu indah bagi yang menjalaninya… ” ungkapnya dengan suara yang berat.
Suara itu tertahan. Aku masih belum menangkap poin utama pernyataannya. Aku sempat penasaran dan sejenak mengalihkan pandang kepadanya yangternyata sedang mengambil napas panjang. Kepalanya menengok ke arahku dan segera kutundukkan kembali pandanganku. Ya Allah, aku tak sanggup melihat seraut wajah yang memiliki tatapan mata yang begitu tajam. Suaranya lalu meneruskan kembali perkataan yang tadi sempat terhenti.
“Sanggupkah Anti menjalani hidup yang demikian bersama Ana, …termasuk sanggupkah Anti untuk kehilangan Ana bila sewaktu-waktu Ana berjumpa dengan cita tertinggi Ana?”
Ya Ilahi Robbi… belum juga kita memulai kebersamaan itu, mengapa perkara kehilangan yang dipertanyakan… Pikiranku sempat menerawang. Apakah karena selama ini hidupku serba berkecukupan sehingga ia perlu memastikan kesediaanku menjalani kehidupan yang sulit bersamanya? Aku mencoba mengendalikan perasaanku dan mengatur napasku.
“Rumah tangga adalah mata rantai perjuangan dan pemelihara kesinambungannya. Salah satu keberhasilan dan kebahagian seorang istri mujahid adalah, ketika ia mampu mengiringi suaminya meraih apa yang ia cita-citakan. Semoga Allah meneguhkan keimanan dalam hati-hati kita untuk selalu bergantung kepadaNya saja...” jawabku sambil berusaha setenang mungkin.
“Allahu akbar… “ gumam suara berat itu berulang-ulang.
Peristiwa sore itu memang tak akan pernah saya lupa. Terlebih saat ini, dimana semakin dekat pada hari yang dinanti, semakin hati ini penuh gejolak. Perasaan was-was kian sering menghampiri. Entah ini adalah firasat yang benar atau hanya godaan syetan belaka. Berulang kali aku mencoba meneguhkan hatiku sendiri. Kebimbangan ini pasti hembusan dari syetan. “Ya Allah, aku berlindung padaMu dari rasa was-was yang ditiupkan ke dada manusia dari syetan golongan jin dan manusia… “
Hembusan ragu itu memang tak jarang menempa diriku sendiri. Layakkah aku mendampingi kehidupan “pahlawan” itu? Atau, tiba-tiba mama cenderung pada ikhwan lain yang pernah menawariku proses ta’ruf sebelumnya. Atau, tiba-tiba papa meragukan kesungguhannya. Atau, aku sendiri yang ciut kala berhadapan dengan kakak-kakaknya Akh Fatih…
Soal pikiran mama dan papa hanya lintasan pikiran yang ditanggapi berlebihan saja. Aku bisa meyakinkan mereka kemantapan pilihanku, walau kadang pikiran yang sama akan timbul lagi pada mereka di lain waktu. Untuk urusan yang terakhir, itu yang masih sulit aku hadapi. Sudah dua kali Akh Fatih meminta aku datang ke rumahnya untuk bersilaturahim dengan keluarganya dan setiap kali aku datang, selalu saja ada masalah sepulangnya aku dari sana.
Akh Fatih memang sengaja memintaku menemui mereka sebagai bagian dari pengkondisian keluarganya atau mungkin juga sekalian mengkondisikan aku. Selain itu, aku juga memang ada keperluan lain seperti mengambil undangan, meminta ukuran pakaian keluarganya untuk walimah, dsb. Biasanya, aku ke sana sepulang nge-Lab, menyelesaikan penelitianku di kampus. Itu pun jika aku bisa menyelesaikan tugasku lebih awal di hari itu.
“Kalau ada Antum di rumah, Ana pulang. Ana gak mau ada fitnah,” ujar saya setiap kali Akh Fatih mengingatkanku untuk datang. “Ana akan sengaja pulang lebih malam supaya Anti bisa lebih leluasa berinteraksi dengan mereka. Kalau ada apa-apa, bilang ke Rani saja. Jazakillah khoir sebelumnya,” jawabnya yang selalu sama.
Ibu Akh Fatih, Bu Ina, atau biasa dipanggil Emak, adalah wanita yang luar biasa baik hati. Beliau dengan segala kesederhanaannya sangat hangat dan ramah setiap kali menerima kedatanganku. Demikian juga dengan si bungsu Rani yang hobi curhat denganku. Tapi, Kak Fida dan Kak Fira, kedua kakak Akh Fatih itu… Entah apa sebabnya, mereka kurang bisa menerima kehadiranku. Selalu ada saja yang salah dari tindak-tandukku, perkataanku, penampilanku, dsb.
Kedua kakak Akh Fatih memang tinggal di samping rumah Emak. Maklum, dari tiga kontrakan peninggalan ayahnya Akh Fatih, dua di antaranya dipakai oleh anaknya sendiri. Sementara satu lagi, rencananya adalah untuk Rani jika kelak ia berumah tangga. Keluarga ini memang mandiri. Mereka memiliki usaha pembuatan emping melinjo di rumah. Si sulung Kak Fida telah bertugas memasarkan emping-emping tersebut sejak SMA. Sementara Kak Fira, ia suka memasak dan menitipkan dagangan di warung-warung, termasuk kepada Emak yang juga menjual nasi uduk walau hanya buka pada pagi hari.
Ya, sudahlah. Ini adalah bagian dari ladang amalku. Aku sangat yakin mereka sebenarnya sangat baik. Hanya saja, mungkin mereka khawatir aku akan mengambil banyak jatah perhatian dari anak laki-laki semata wayang ini. Akh Fatih memang tulang punggung keluarga. Pemasukan dari pembuatan emping tidak seberapa. Penghasilan satpam suami Kak Fida dan usaha percetakan suami Kak Fira juga demikian. Setelah Akh Fatih diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta di bidang informatika dan komunikasi, ia banyak menalangi kebutuhan keluarga ini. Setidaknya, begitulah penjelasan Rani pada kunjunganku pekan lalu. Wallahu’alam…
***
Seven days to my weddingday. Jam tanganku menunjukkan pukul 6.30. Ya Allah, aku sudah telat 30 menit dari waktu yang aku janjikan untuk menemui Emak hari ini. Aku sudah menyatakan bersedia menemaninya menjual nasi uduk, lalu bersama Rani mempersiapkan barang-barang seserahan untuk walimahku nanti.
Aku pun keluar dari Audi yang kuparkirkan di halaman depan rumah Akh Fatih. Kuperhatikan Emak yang sedang asyik melayani seorang pembeli. Sementara, Kak Fira sempat menghentikan aktivitas menyapunya saat aku datang.
“Assalamu’alaykum…” sapaku seraya mencium tangan Emak.
“Wa’alaykum salam… Kirain Neng kagak datang. Emak dah mulaen nih. Ayo dah duduk sini!” ujar Emak.
“Biasa deh Mak, orang kaya mah abis subuh tidur lagi. Apalagi kalo libur… bangunnya abis lohor kali. Gak biasa kerja sih…” seloroh Kak Fida.
“Gak begitu kok, Kak. Maaf, saya memang salah. Ini, saya bawakan susu kedelai buat di sini. Baru tadi subuh saya bikin. Rasa stroberi lho, Mak…” sergahku.
“Jangan mau, Mak. Ntar sakit perut…” seru Kak Fida.
“Ga apa-apa kok, Kak. Karena Emak sudah menopause, harus sering minum ini. Biar tulangnya kuat. Kak Fida mau?”
“Bukannya saya pengen, tapi saya takut Emak kenapa-kenapa abis minum gituan. Situ kan suka bawa sial!” jawab Kak Fida.
“Fida… Kagak boleh ngomong begitu, ah!” ujar Emak, “Alhamdulillah, Neng… Makasih, ya. Emak emang demen tuh sama buah stroberi. Yang kecut-kecut itu, kan, Neng?”
“Iya, Mak…” jawabku singkat sambil berusaha kuat mempertahankan senyumku.
“Ya udah, Neng, ambil aja gelasnya di dapur. Sama sekalian tolong ambilin tahu goreng ya, di mari udah kosong.” Ujar Emak.
“Baik, Mak. Gak ada Fatih di dalam, kan?” tanyaku.
“Kagak ada. Kalo hari minggu, abis subuh dia ngajar tahsin di RT 5. Kalo kagak ada apa-apa lagi, jam 7an juga dia balik. Tapi, kalo ada acara, biasanya dia nyambung ampe lohor atawa asar,” jelas Emak. “Oh iya, Neng. Tahunya lagi digoreng sama Fira. Yang udah anget, tolong bawa ke mari yak!”
Saya berjalan memasuki rumah Akh Fatih yang asri itu. Di teras depan, hanya ada bale-bale berukuran 1,5 x 2 m. Selanjutnya, disambung pintu utama yang menghubungkannya dengan ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Tidak banyak asesoris di dalamnya. Hanya ada vas bunga, gambar Masjidil Haram, dan foto wisuda S1 Akh Fatih. Dapur adalah ruang paling belakang di rumah ini setelah meja makan yang berhadapan dengan televisi 19 inchi. Di sana, sudah ada Kak Fira yang sedang menggoreng tahu.
“Assalamu’alaykum, kak…”
“Wa’alaykum salam.” Jawab Kak Fira tanpa sedikit pun menengok ke arahku.
Lagi apa, Kak? Bisa saya bantu?” tanyaku
Tidak ada jawaban.
Saya bawa susu kedelai nih, Kak. Mau saya tempatin di gelas buat Emak dan Kak Fida di depan. Kak Fira juga mau, kan?”
Masih juga tidak ada jawaban.
 “Ehmmm… ya, sudah. Oh iya, saya juga disuruh Emak mengambil tahu goreng yang sudah hangat. Dimana ya, Kak?
“Lo liat dong pake mata. Jelas-jelas ada di deket kompor. Bisa enggak lo ngambilnya? Lo kan gak biasa kerja…”, kali ini Kak Fira menatapku walau dengan pandangan yang sinis.
“Oh, iya ya, ada di sini…” ujarku sambil tersenyum, “Ah, Kak Fira bisa aja. Bisa dong kalo cuma ngambil aja sih. Saya suka masak kok di rumah. Tapi, saya mah gak ada apa-apanya deh dibanding kak Fira…”
“Ga usah pake ngejilat. Saya tahu orang manja kayak lo bakal sering minta ini-itu sama suami. Padahal kan yang harus diurusin Fatih nantinya tuh bukan cuma bininya. Dia punya keluarga. Dia punya kakak,Emak, adik, keponakan… Saya cuma mau ngingetin lo supaya gak usah banyak gaya, deh. Apes banget Si Fatih kalo punya bini kayak lo!”
“Insya Allah, saya tidak seperti itu, Kak. Saya…”
“Alah… Gak usah banyak cincay. Lo tuh cuma bisa nyusahin aja!”
“Hmmm… Saya ke depan dulu, Kak,” kataku yang akhirnya hanya bisa menjawab singkat. Yang seperti ini tidak bisa dijawab dengan kata selain doa, melainkan dengan laku-ku. Dijawab dengan penjelasan panjang pun jatuhnya menjadi debat kusir. Ya, sudahlah, waktu yang akan menjawab. Segera kupindahkan tahu goreng yang sudah tiris ke atas piring plastik besar yang landai. Tanganku agak bergetar dengan iringan degup palpasi yang menyelimuti gejolak perasaanku dan …
“Praaaaaaaaaak….!!!”, piring itu sukses  mendarat di atas lantai. Astagfirullahal’azhim…
“Ya ampuuuuuuuuuun… Mentari… Lo tuh bener-bener bawa sial banget sih! Liat! Liat! Sadar gak sih kalo lo tuh perusak! Beresin!!!!!”, bentak Kak Fira.
“Innalillahi… Ya Allah… maaf, kak… Maaf… Ya Allah… ini akan saya ganti…  Biar ini saya yang beresin, jawabku seraya membereskan tahu-tahu itu dengan gaya panik.
“Ya iyalah, lo yang harus beresin… gantinya juga harus dua kali lipat karena lo udah bikin orang pagi-pagi udah marah-marah. Buruan beresin!”
Huuuaaaaaaaahhhhh…. Masya Allah... Ada saja… Aku memang harus sangat ekstra hati-hati melakukan segala sesuatu di rumah ini. Sama sekali belum terbayang bagaimana aku menyelesaikan skripsiku di rumah ini jika suasananya tetap seperti ini. Sebagaimana perjanjian yang lalu, sambil menunggu Akh Fatih berangkat ke Jerman lima bulan lagi, rencananya kami akan menghabiskan bulan-bulan awal pernikahan kami di rumah ini. Itu berarti saya menunda program studi profesi apoteker selama menemaninya di Jerman. Itu juga berarti saya harus terbiasa dengan suasana di rumah ini beberapa bulan sebelumnya.
Huff… Setelah selesai membereskan tragedi dapur, langkahku menuju halaman depan terasa lebih berat dari sebelumnya. Ya Allah, kuatkan aku… Semangat! Semangat! Keep your smile, ukhti…
“Nah, itu Neng Mentari…”, seru Emak, “Tahu gorengnya mana, Neng? Ditungguin nih!”
“Jalan lagi, Mak. Mau ke rumah Arief ya. Assalamu’alaykum…” ujar laki-laki yang mencium tangan Emak dan kemudian melaju tergesa dengan motornya.Seperti Akh Fatih… hahhhhh… perasaanku sedikit lebih lapang?
“Wa’alaykumussalam. Lha, die malah kabur lagi…” ujar Emak bingung.
“Itu Fatih kan, Mak? Kok dia ke sini? Bukannya sedang ada halaqah tahsin-tahfiz?” tanyaku.
“Iya, itu Fatih. Dia bilang lapar. Tahsinnya udahan. Mau ambil tahu goreng sekalian buat dimakan bareng-bareng di rumah Arief. Kayaknya sih itu alesan die aja, Neng,” kata Emak sambil tersenyum nakal, “Emak kan bilang hari ini Neng Mentari mau bantuin Emak jualan. Terus, dia mau mastiin Neng dateng. Mau nyobain gorengan bikinan mujahidah katanya. Eh, pas Neng dateng, die malah ngacir lagi…”
“Arief itu siapa, Mak?”
“Sohibnya Fatih. Biasanya kalo libur atawa beres kerja, mereka palingan ngurusin tim tela’ah dakwah majalah Islam… ehmmm… apaan gitu namanya… Emak lupa. Itu lho, Arief JM yang bantuin walimahan besok… yang ada JM-JM gitu deh namanya…”
“Oh…”, jawabku sekenanya.
“Tahu gorengnya mana, Neng?”
 Oh, iya.. aduh, bagaimana ini… kok aku malah ngobrol sama Emak. Akhirnya, aku hanya bisa tersenyum kecut. Aku duduk di samping Emak dan memegang tangannya dengan hangat. Kupandangi matanya yang sejuk dalam beberapa saat. “Mak, saya minta maaf sekali… “ kataku. Emak hanya terdiam dengan wajah bingung. “Saya memang bukan calon mantu yang baik. Tahu goreng yang sudah hangat sudah saya pindahkan ke piring. Tapi…, piring itu kemudian jatuh karena saya. Maafkan saya ya Mak. Saya bayar ya Mak..” jelasku perlahan.
“Masya Allah… Emak kira ada apa… Kagak ngapa, Neng. Kagak usah diganti. Udah ah, enggak apa-apa kok. Tenang aja, ya Neng,” ujar Emak sambil merengkuh tubuhku. Entah mengapa merasa sangat nyaman sekali dalam pelukannya.
“Bukan sekedar urusan dapur… itu bukan alesan Fatih memilih Neng Mentari dan bukan juga alesan Emak setuju ama pilihannya. Emak tertarik ama kepengenan Fatih membuat keluarga ahlul qur’an dan mengumpulkan lagi keluarga dunianya di akherat nanti.”
“Maksud Emak, apa?”
“Fatih pernah bilang, Rosulullah pernah bersabda kalo sesungguhnya Allah punya keluarga dari kalangan manusia. Pas sahabat nanya siapa, rosulullah menjawab: mereka adalah ahlul qur’an. Hadits ini* yang nguatin kecenderungan Fatih membentuk keluarga itu bersama Neng Mentari. Dia bilang, dia yakin betul bisa ngebina itu bareng Neng Mentari. Melahirkan generasi Qur’ani, katanya…”
Air mata yang telah kutahan sedari tadi meleleh juga akhirnya. Akh Fatih memang pribadi kompleks yang sederhana. Pemikirannya begitu sederhana. Keyakinannya juga demikian. Namun, semua terejalantahkan dalam langkah yang kompleks bagi sebagian orang tetapi sangat sederhana dan indah bagi yang menjalaninya.
“Udah, ah. Kagak usah pake mewek. Malu sama yang beli ke mari. Bentar lagi palingan Rani balik dari tukang sayur. Abis itu kalian pada beres-beres dah. Jadi belanja seserahan hari ini kan?”
“Ehmmm…  iya, Mak”, kataku sambil menghapus sisa air mataku. “Tapi, mungkin kami akan berangkat agak siangan. Tokonya juga paling baru buka jam 9 atau 10. Sebelumnya, saya bantuin masak deh… sekalian belajar dari Kak Fira sang Master. Oh iya, Emak mau dibelikan apa?”
“Wah… gak usah repot-repot, Neng. Yang mau nikah kan bukan Emak. Hehehe…”
***
Aduh… mau menemui Bu Asih itu sulit sekali. Kemarin, sudah saya tunggu dari pagi, eh ternyata ada tamu dari UGM datang ke kampus terlalu pagi. Setelah itu, keburu take off dari kampus karena si ibu ada agenda di BPOM. Kemarin lusa juga begitu. Janjinya, sebelum beliau rapat di ISFI, beliau akan ke kampus dulu untuk mengajar kuliah. Ternyata? Kata adik kelasku, kuliah farmakoterapi yang beliau pegang hari itu diundur pekan depan. Hari ini, aku harus bisa bertemu beliau. Deadline sidang skripsi adalah bulan depan, sementara sampai saat ini, diskusiku dengan beliau belum cukup optimal.
Kalau tidak hari jumat ini, kapan lagi? Sudah kepalang weekend. Pagi ini aku harus mencegatnya di ruangan beliau. Sebelum agenda mengajar beliau jam 09.15, beliau memberi kesempatan untuk saya berdiskusi dengannya. Alhamdulillah, aku sudah sholat Dhuha. Berarti, aku bisa duduk-duduk di kursi panjang depan ruangan tersebut sambil membaca ulang berkas-berkas kerja lab-ku.
Menit demi menit berlalu. Tiga pesan singkat saya tidak dibalas. Ditelepon juga tidak diangkat kecuali 15 menit yang lalu. Bu Asih bilang sebentar lagi beliau bisa kutemui di ruangannya. Jam di tanganku menunjukkan pukul 08.55. Biasanya, walaupun sejak pukul 08.00 beliau ke gedung Dekanat dulu, tak lama beliau pasti langsung ke ruangannya di sini. Mengapa Bu Asih lama sekali ya? Apa mungkin jalan dari gedung dekanat ke gedung Farmasi macet? Itu kan berjarak hanya 100 meter dan 5 menit dengan berjalan kaki normal? Sudahlah… semakin siang pikiranku sedikit berantakan. Mungkin karena aku belum sempat makan pagi. Beginilah pahitnya aktivitas menunggu ketidakpastian. Kita tak pernah tahu pada saat yang mana hal tersebut layak ditinggalkan sementara…
“Bip… Bip… Bip…,” dering handphone di sakuku. Mungkin ini dari Bu Asih. Segera kurogoh saku kananku dan meraih benda elektronik itu. Kubaca tulisan yang tertera di screen-nya yang cukup besar. Fatih memanggil? Tak biasanya beliau meneleponku, apalagi di jam kerja seperti ini.
“Assalamu’alaykum,” sapaku.
“Wa’alaykumussalam.  Kak Mentari, ini Rani. Maaf, Kak, baru bisa ngabarin. Kakak bisa bisa ke ICU RSCM sekarang? Bang Fatih kritis.”
“Innalillahi… kenapa, Ran?”
“Semalam Abang kecelakaan. Kakak bisa datang sekarang kan, Kak? Tolong, ya Kak.”
“Tapi, Ran… Ran? Rani? Halo? Halo, Rani? Rani?”
“tuuuuuuuuut….. tuuuuuuuut….. tuuuuuuuut……..”
Ya Allah… cobaan apa lagi ini… Ada apa dengan Fatih? Tubuhku terasa lemas, kepalaku berat, pandanganku memburam, dan napasku agak sesak. Aku masih belum bisa berpikir jernih. Ada apa dengan Fatih? Kepalaku seolah hanya berisi kata Fatih dan kecelakaan…
“Mentari…? Mentari? Kamu Mentari kan?” ujar Bu Asih membuyarkan lamunanku. “Silakan masuk ke ruangan saya. Maaf ya, sudah menunggu lama. Mari…”
“Hahhh? Iya ya, baik, Bu,” jawabku setengah sadar sambil mengikutinya memasuki ruangannya.
“Silakan duduk.”
“Terima kasih, Bu”
“Saya sudah baca berkas yang kamu taruh di meja saya dua hari yang lalu. Secara umum, memang tidak bermasalah. Tapi ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan. Sejak awal kan saya sudah berulang kali mengingatkan kamu. Untuk data sampel kelompok mencit yang…  bla… bla… bla…”
Aku hanya bisa menundukkan wajahku di hadapan Bu Asih. Aku tidak jelas betul apa yang sedang dijelaskannya. Yang jelas, pernikahanku sebentar lagi,Akh Fatih kritis, sementara aku di sini, tidak tahu apa-apa lagi dan belum berbuat apa-apa…
“Saudara Mentari? Anda menyimak penjelasan saya?”
“Ya, maaf, Bu. Bisa diulangi, bagaimana?”
“Kamu tidak memperhatikan saya, ya? Saya tahu besok lusa kamu akan menikah. Undangan kamu sudah saya terima kok. Tapi, kamu harus tetap fokus dengan tugas kamu sekarang.”
Aku hanya bisa diam.
“Mentari, sekarang ibu tanya kamu sebagai pribadi. Ada apa? Tidak biasanya kamu nge-blank seperti ini?” tanya Bu Asih seraya menatapku lekat.
Aku masih terdiam dalam beberapa detik. “Bu, jika hari ini pernikahan ibu sudah sedemikian dekat seperti saya, tetapi saat ini calon mempelai laki-lakinya terbaring lemah di ICU, apa yang akan ibu lakukan?” tanyaku dengan tatapan datar. Entah apa yang mendorogku menanyakan hal ini pada beliau. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Temui dia sekarang juga, Mentari. Berikan dia semangat untuk bertahan. Berangkat sekarang, Nak,”
Tak di sangka, Dosenku yang dikenal galak itu ternyata sangat perhatian. Sepertinya cukup mudah menangkap latar dari wajah sekusut aku saat ini. Aku pun berlalu dengan cepat dari hadapan Bu Asih.
“Terima kasih, Bu. Terima kasih. Saya pamit dulu. Mohon doanya, Bu… assalamu’alaykum…”
***
 “Mentari!” seru Bu Dina.  Ustadzahku ini menyambutku dengan pelukan. Aku jadi semakin bingung. Aku tak melihat Emak dan saudara-saudara Akh Fatih yang lain. Hanya ada orang-orang yang tidak aku kenal dan polisi! Mataku masih mencari sosok lain yang mungkin kukenal. Ternyata tidak ada selain Bu Dina dan suaminya di lorong menuju ruang ICU.
“Yang lain kemana, Bu?”
“Mereka baru saja diminta ke dalam,” jawab Bu Dina dengan tenang. “Kita berdoa di sini saja..”
“Bagaimana keadaan Akh Fatih sekarang? Apa dia dalam keadaan sadar? Kapan bisa dibawa pulang? Sebenarnya ada apa, Bu? Apa dia sudah lama di ICU?” tanyaku penasaran.
“Semalam Fatih sempat ke UGD dulu. Semoga Allah memberinya yang terbaik.”
“Maksud ibu? Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Akh Fatih? Ada apa, Bu?”
“Mentari sayang, sekitar jam 10 tadi malam, ada 2 orang yang menjemput Fatih di rumah. Mereka mengaku utusannya Pak Haji Ali, imam masjid Kampung Sawah, daerah rawan pemurtadan tempat Fatih dan teman-teman tim tela’ah dakwah menyelesaikan proyek penyelamatan aqidah. Dua orang itu mengaku disuruh untuk menjemput Fatih karena keadaan kampung mereka sedang tidak aman. Fatih pun pergi dengan dibonceng oleh salah satu dari mereka dengan motor…,” sejenak Bu Dina menghela napasnya, “Entah bagaimana lagi…, jam 3 dini hari tadi, Arief JM sebagai mas’ul tim itumengabari keluarga Fatih bahwa Fatih ditemukan orang di pinggir jalan dalam keadaan terluka tusuk.”
“Kenapa saya baru dikabari, Bu?” tanyaku dengan suara tersekat tangis.
“Keluarganya yang…”
“Ya, ya… Kakaknya tidak ingin melihatku dan menganggapku bawa sial…,” ujarku. “Tapi, tidak untuk keadaan seperti ini. Saya harus segera menemui Akh Fatih di dalam.”
“Nanti saja, Tari,” cegah Bu Dina dengan lembut seraya memegang lenganku, “Biar keluarga mereka dulu…”
“Saya harus melihatnya. Saya juga harus bicara dengan kakaknya itu. Masa’ saya baru tahu… Saya calon istrinya, Bu.”
“Kita tunggu dan berdoa di sini saja,” kata Bu Dina sambil tidak melepaskan lenganku.
“Dia masih berhutang Ar-Rohman pada saya untuk ahad ini, Bu. Saya sudah mempersiapkan pernikahan saya… Saya…”
“Mentari!” seru Bu Dina, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
Kami berdua terdiam dalam beberapa saat. Lisanku tak henti menggumamkan doa padaNya. Suasana menjadi hening dan tegang. Tak lama, pintu yang memisahkan ruang tunggu dan ruang ICU itu terbuka. Saya dan beberapa ikhwah segera melayangkan perhatian ke arah sana. Kami bersiap mendengar kabar dari Arief yang membuka pintu tersebut.
“Fatih syahid…”
Allahu akbar! Innalilahi wa inna ilaihi roji’un…
Tubuhku melemas seketika. Segera Bu Dina menopangku dengan peluknya. Suara tangis membuncah bagai ribuan lebah yang berkerumun. Mujahid itu telah lebih dulu menggapai citanya. Cukuplah Ar-Rohmannya bergema di hadapan Ar-Rohman…
***

Betapa skenario Allah adalah selalu yang terbaik bagi setiap hambaNya. Allah
yang Maha Menciptakan sejatinya selalu Maha Tahu dan Maha Memahami setiap ciptaanNya. Segala puji dan syukur untukNya atas tarbiyah Ilahiyah yang kurentas dalam rumah tanggaku. Tidak ada penundaan hari pernikahan yang telah aku dan keluargaku persiapkan. Sejak ahad itu, aku hidup dalam sebuah keluarga yang bernapas dengan udara kasih sayang dan naungan Al-Qur’an.
Malam ini, suamiku kembali memenuhi sebuah panggilan dakwah ke bagian timur negeri ini. Ia kembali menjadi kapten pada agenda dakwah kali ini. Bersiap dengan segala kemungkinan adalah kemestian bagiku dalam mendamping seorang mujahid. Cukuplah Allah sebaik-baik pelindung…
“Fatih insya Allah akan menikahi bidadari di syurga. Tapi, aku telah lebih dulu menikahi seorang bidadari yang masih berada di dunia…,” bisik Arief Jihady Musthafa seraya mendaratkan sebuah kecupan di keningku.


0 komentar: